Alhamdulillah, pembahasan hati yang turun ( Khafdh al-Qolbi) sudah selesai pada renungan shubuh kemarin. Kali ini kita akan membahas hati yang mati ( Waqf al-Qobi) yaitu suatu kondisi dimana hati berada dalam keadaan lalai dari Allah SWT. Indikator hati yang mati menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya *Minhaj al ‘Arifin*, yang pertama hilangnya rasa manis/kelezatan dalam beribadah; kedua, tidak adanya rasa pahit/penyesalan dalam kemaksiatan, dan; ketiga, ketidakjelasan dalam masalah halal.
Dalam al-Qur-an, dijelaskan tentang orang yang lalai, antara lain:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (QS al-Kahfi: 28).
Allah SWT juga mencela orang yang lalai dalam kesehariannya, sebagaimana terdapat dalam al-Qur-an surat ar-Ruum ayat 7:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.
Lalai merupakan penyakit hati yang berbahaya. Bila seseorang telah terjangkit dan penyakit tersebut bersemayam pada dirinya, maka ia tidak akan menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah dan tidak beribadah kepada-Nya, akan tetapi hanya menyibukkan diri dengan berbagai hal yang sia-sia yang tidak ada manfaat buat dirinya nanti di yaumil qiyamah. Dan tentu saja orang seperti ini jauh dari dzikir mengingat Allah SWT. Jika melakukan amal saleh, maka amalan tersebut tidak dibalut dengan sifat khusyu, tunduk, kembali (taubat), rasa takut dan ikhlas. I
Intinya dalam beramal sholeh, dia tidak merasakan kelezatan dan kenikmatan. Demikianlah pengaruh buruk penyakit ini terhadap keimanan.
Imam Athoillah as-Sakandariy dalam salah satu hikamnya menggambarkan kondisi orang yang hatinya mati:
مِنْ عَلاَمَاتِ مَوْتِ القَلْبِ، عَدَمُ الحُزْنِ عَلى مَا فَاتَكَ مِنَ المُوَافَقَاتِ، وَتَرْكُ النَّدَمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِن وُجُود الزَّلاَّتِ
“Di antara ciri hati yang mati tak ada kesedihan ketika ketaatan luput dikerjakan, dan tak ada penyesalan atas dosa sudah diperbuat. ”
Sejatinya seorang mukmin seharusnya berbahagia saat dia melakukan amal sholeh dan ketaatan kepada Allah dan bersedih saat dia bergelimang dengan kemaksiatan. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوْ مُؤْمِنٌ
“Barangsiapa yang amal baiknya menyenangkan dirinya dan amal jeleknya menyedihkan dirinya, maka ia adalah orang mukmin”
Bagi seorang mukmin yang hatinya hidup dan tidak mati akan berkumpul dua hal yang tidak dapat tidak, harus ada, yaitu:
- Perasaan takut kepada Allah (al-Khauf), jangan sampai amal ibadahnya tidak diterima Allah SWT, atau dosa dan kesalahannya tidak diampuni. Oleh karena itulah dia behati-hati dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
- Perasaan yang selalu mengharapkan rahmat Allah ( ar-Roja), Mengharap semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahannya dan semoga pula Allah menerima amal ibadahnya. Perasaan takut dan harap ini diibaratkan oleh ulama tasawuf Abu Ali ar-Ruzbary sebagaimana terdapat dalam kitab *ar-Risalah al-Qusyairiyah*, laksana dua sayap burung, apabila sama kedua sayapnya maka burung itu akan terbang dengan baik dan sempurna. Dan bila salah satu sayapnya ada yang kurang, maka burung tersebut tidak bisa terbanag dengan baik dan sempurna. Dan bila tidak ada keduanya maka burung tersebut akan mati dan tidak ada artinya. Untuk itu, agar hati kita tidak mati, kita hendaknya memelihara sifat khauf dan roja kita kepada Allah dalam kehidupan kita. Mudah-mudah Allah senantiasa membimbing kita untuk bisa memelihara dan menjaga kedua sifat ini sehingga kita terhindar dari penyakit matinya hati.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kekikiran, ketuaan(kepikunan), dan dari siksa kubur. Ya Allah, berikanlah pada jiwaku ini ketakwaannya dan bersihkanlah ia. Engkaulah sebaik-baik yang dapat membersihkannya, Engkaulah Pelindungnya dan Rabbnya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan).”
(Doa ini dikutip dari Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Nabi SAW, yaitu Zaid bin Arqam RA).
Wallahu a’lam.
Salam Bahagia dari Ahmad Rusdi (Renungan Shubuh kelimabelas, 2062020)