Senin 7 November 2022 Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia adakan Munas I dan Konferensi Pengasuh Pesantren se Asia Tenggara. Acara digelar di PP Darunnajah Jakarta bersamaan dengan Launching Universitas Darunnajah itu berlangsung selama dua hari 7-8 November 2022.
Hadir pada acara tersebut Wapres Ke 10 dan Ketua DMI Jusuf Kalla, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Pimpinan PMGD KH. Hasan Abdullah Sahal beserta tamu undangan lainnya. Acara yang dihadiri lebih dari 400 pengasuh pesantren itu berlangsung dengan penuh kesemangatan dan keceriaan.
Konferensi internasional ini menghasilkan lima rekomendasi, yang di antaranya menegaskan bahwa pesantren salaf dan pesantren modern siap untuk berkolaborasi dalam pengembangan program pesantren.
“Rekomendasi konferensi internasional se-Asia Tenggara menyatakan bahwa pesantren salafiyah dan pesantren ashriyyah (modern) adalah satu, tidak ada perbedaan kelas dan siap berkolaborasi,” ujar Presiden P2I, KH Muhammad Tata Taufik, dilansir Republika, Selasa (8/11/2022).
Kedua, lanjut dia, juga direkomendasikan bahwa konferensi ini harus lebih sering dilaksanakan karena berkaitan dengan terjalinnya antara pesantren salafiyah dan ashriyyah serta seluruh pesantren-pesantren yang berada dalam naungan ormas-ormas lainnya.
“Ketiga, bahwa pesantren akan saling membantu melalui pengembangan program ‘Pesantren Helping Pesantren’,” ungkapnya.
Keempat, konferensi internasional pengasuh pesantren se-Asia Tenggara juga mendorong terbentuknya perguruan tinggi di pesantren dan program studi Manajemen Pesantren.
“Kelima, berkomitmen untuk mengembangkan SDM Pesantren dan kader-kader pesantren untuk kemajuan bersama dan kejayaan Indonesia,” kata Kiai Tata.
Sementara itu, Pimpinan Pesantren Darunnajah Jakarta, KH Hadiyanto Arief, menjelaskan, para pengasuh pesantren yang berkumpul di konferensi tersebut memang memiliki semangat untuk menghilangkan sekat antarsesama pesantren.
“Semangat utamanya adalah P2I atau konferensi internasional ini sebenarnya adalah gerbong pengasuh pesantren se-Indonesia yang memang telah melepas batas dikotomi. Artinya kita tidak membeda-bedakan antara pesantren modern ataupun salaf,” ujarnya.
Konferensi internasional ini dihadiri sekitar 280 perwakilan pesantren dari Malaysia hingga Timor Leste. Selain itu, kegiatan ini juga menghadirkan pembicara dari luar negeri, seperti dari Mesir dan Arab Saudi.
“Yang hadir di sini dari pesantren modern banyak. Ada juga yang dari salafiyah. Hampir 40 persen itu dari pesantren salafiyah yang memang berlainan warna tapi kami memang sudah berpikir bersama bagaimana bersinergi dan memikirkan pendidikan dan peran pesantren untuk ke depannya, untuk generasi yang akan datang,” jelas Kiai Arief.