Pengembangan Pesantren Dalam Perspektif HOTS

Dr. Hatim Gazali (Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah RMI)

Pengantar:

Bicara Higher Order Thinking Skills (HOTS) di pesantren itu seperti berbicara sesuatu hal yang asing di pesantren, kesannya hal yang asing di pesantren, karena secara terminologi Higher Order Thinking Skills itu bukan terminologi yang muncul di tengah-tengah pesantren, Pesantren tidak mengenal istilah itu apalagi Pesantren secara umum sebagian yang menganggap bahwa istilah-istilah yang muncul dalam perspektif yang konsisten beda halnya jika di terjemahkan ke dalam bahasa Arab yang cenderung lebih diterima.

Padahal kalau kita kaji lebih jauh tentang apa yang ada di pesantren apakah sepenuhnya sudah ada HOTS ataukah tidak kita lihat nanti. Higher Order Thinking Skills itu disebut dengan keterampilan itu bagian dari berpikir kritis critical thinking. Dalam critical thinking itu ada tahapan-tahapan dalam berpikir mulai dari level paling rendah yaitu seperti ada recall thinking ada basic thinking kemudian level sampai pada critical thinking dan yang lebih tinggi itu adalah creative thinking, itulah yang di sebut dengan HOTS.

Kemudian, kenapa Higher Order Thinking Skills? Salah satunya muncul dari Benjamin Bloom, jadi ketika orang membicarakan HOTS itu selalu dikaitkan dengan konsep yang dikembangkan oleh Bloom dari buku yang diterbitkan pada tahun 56 berjudul “Taxonomy of Educational Objectives and Classification of Educational Goals” yang mengkategorisasikan pola pikir manusia mulai dari rendah sampai yang tinggi. Karena itulah kemudian konsep ini memiliki tujuan dalam konteks pembelajaran.

Dari Ki Hajar Dewantara ke HOTS:

Pembelajaran  dalam konteks ini dibagi tiga ranah; kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga ada level-level kategori berpikir yang sifatnya kognitif kemudian ada juga yang efektif ada motorik yang sebenarnya dalam konteks pendidikan di Indonesia itu yang lebih komplit sebenarnya apa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, terkait dengan Tri Sakti; ada Cipta ada Rasa dan Karsa. Itulah  mengapa tidak boleh peserta didik atau santri hanya di asah pikirannya saja, tetapi juga hatinya dan karsanya.

Ini berulang kali saya sampaikan misalnya beberapa kali di forum Kemendikbud menyatakan bahwa kalau pendidikan nasional ingin melakukan reformasi yang cukup signifikan maka pendidikan nasional tidak bisa mengabaikan praktik baik yang ada dalam pesantren, praktik baik yang seperti apa yang ada dalam pesantren? pesantren pendekatanya sangat holistik tidak hanya mengejar kognitif, santri tidak hanya sekedar mengejar bahwasanya itu hafal Alfiah atau menghatamkan sejumlah syair-syair tertentu, tidak. tidak juga menghafal Al-Qur’an. tidak sekedar itu. Tetapi, santri juga sampai diminta untuk bagaimana mengelola hatinya karena itulah hati ini sangat luas dalam pengertian di pesantren, salah satunya mulai soal tasawuf sampai kemudian tingkah laku di hadapan Tuhan di hadapan Allah sampai pada etika. Karena itulah banyak pesantren kemudian pendekatannya tidak hanya pada pengembangan aspek kognitif santri, tetapi juga aspek afektif nya, aspek hatinya, rasanya. Begitu juga dengan karsa, Jadi kalau bicara soal bagaimana Cipta Rasa dan Karsa itu saya kira Ki Hajar Dewantara banyak terinspirasi dari apa yang telah ada dalam pesantren. Di salah satu bukunya misalnya Ki Hajar Dewantara bicara bahwa santri, bahwa seorang pembelajar dan guru itu harus tinggal dalam satu lingkungan yang sama. itu sudah mengandaikan sekali bahwa apa yang disampaikan oleh Ki Hajar adalah Pesantren, karena mengandaikan bahwa santri dengan gurunya itu berada dalam satu asrama yang sama dalam lingkungan yang sama.

HOTS ini lazim digunakan dalam konteks kegiatan belajar mengajar, di Indonesia jarang sekali HOTS itu diterapkan dalam konteks pengembangan sebuah kelembagaan atau institusi pendidikan, biasanya muncul dalam pembelajaran. karena muncul dalam pembelajaran biasanya pada ranah kognitif itu soalnya terdiri dari remembering kemudian undestanding memahami dan mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan.

Contohnya dari mengingat soal wudhu, santri kemudian bisa paham berapa sih hal-hal yang membatalkan wudhu dia bisa menyebutkan satu sampai berapa belas itu, tergantung Imam mazhab yang digunakan, terus memahami juga begitu. lalu kemudian mengaplikasikannya, bisa teraplikasikan tidak dalam praktek wudhunya?  Kemudian menganalisis, nah menganalisis ini yang sering kali dalam konteks pesantren itu tidak banyak dalam konteks pendidikan secara umum, jarang sekali dikembangkan kemampuan menganalisis. Jadi seseorang tidak tahu kenapa harus melakukan ini dan itu? Kenapa, misalnya dalam konteks hukum Islam itu ada hukum wajib ada hukum sunah, mubah, haram. kenapa ada begitu? jarang sekali masuk ke dalam ranah analisis apalagi kalau ranah analisis mengevaluasi dan menciptakan ini kan sudah level kategori HOTS, sehingga kalau dalam konteks Pesantren, ini pasti diajarkan sudah pada level katakanlah “advance.” Yang perlu dipahami adalah sering kali orang salah paham bahwa kita harus HOTS tetapi sering kali mereka melalaikan, lupa terhadap yang bawah padahal yang bawah ini remember, understanding dan applying  itu adalah syarat untuk menuju pada level di atasnya.

Ketika saya training beberapa guru misalnya itu didapati bahwa kita harus menerapkan HOTS kemudian istilah dikenal dalam kurikulum 2013 misalnya C1, C2, C3 dan seterusnya itu, kita harus sampai pada C5. Bagaimana bisa sampai pada C5 sementara C1-nya yang sifatnya remembering yang sifatnya mengingat itu tidak dicapai. Misalnya begini, bagaimana mungkin seseorang bisa menganalisis sebuah ayat Al-quran tentang ayat-ayat ahkam misalnya jika tentang hukumnya saja tidak tahu. Atau mungkin ayatnya saja tidak tahu. bagaimana mungkin seorang asaatidz misalnya, seorang penceramah, mubaligh menjelaskan sebuah ayat yang ayatnya sendiri tidak tahu. itu yang bermasalah dalam konteks ranah kognitif itu sering kali orang salah paham bahwa kita harus di level yang tinggi tetapi suka melalaikan dan suka lupa level di bawahnya, padahal level di bawah itu harus dicapai dulu untuk mencapai level di atasnya. Ini sifatnya hirarkis, kita tidak bisa mencapai level memahami kalau tidak mengingat, mengingat itu sifatnya jangka pendek kemudian mengaplikasikan level yang lebih tinggi lagi. Jadi apa yang mau diaplikasikan kalau tidak bisa memahami jadi sifatnya ini sifatnya hirarkis tidak bisa dilewati begitu saja.

Kalau seorang santri ingin menganalisis suatu hal, maka dia bisa memulai dari yang paling bawah, mengingat dulu, dan di level ibtidaiyah misalnya sudah mulai belajar hal-hal yang sifatnnya menghafal. Kita tahu bahwa di pesantren itu ada banyak sekali hafalan-hafalan mulai dari Aqidatul Awam kemudian Tajwid itu ada banyak hafalan, mulai dari paling sederhana misalnya Asmaul Husna sampai pada misalnya hafalan Hafalan gramatikal Arab. Nah itu pada level remembering, tapi kan tidak semua orang yang menghafal itu kemudian memahami. Untuk level memahami saja misalnya memahami Ibnu Akil saja sudah levelnya sangat tinggi apalagi mengaplikasikan. Banyak orang yang tahu tentang satu kaidah misalnya kaidah fail misalnya atau failnya tetapi tidak tahu bagaimana mengaplikasikannya apalagi menganalisis ke dalam sebuah teks, ke dalam sebuah ayat, ke dalam sebuah hadis, atau ke dalam sebuah kitab kuning pada umumnya, jadi ranahnya begitu.

Ranah ini bisa dikembangkan karena juga belum mengembangkan dalam ranah afektif dan dalam ranah psikomotorik, tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa ranah mulai dari remember, mengingat, memahami, mengaplikasikan itu bersifat dinamis tidak bisa dilewati satu dan yang lain.

Menelisik HOTS di Pesantren:

Mengapa kita penting untuk bicara soal Higher Order Thinking Skills ini? Karena yang pertama adalah HOTS ini diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir manusia atau peserta didik sehingga ia memiliki sisi afektif dan psikomotorik yang handal guna dapat beradaptasi dengan dunia yang di atasnya ini agar dapat beradaptasi menghadapi tantangan dunia yang sangat menantang dan ada di masa depan yang tidak penuh penentuan.

Kedua kenapa penting? karena kita tahu ini adalah hasil, jarang sekali misalnya pesantren sendiri mengkaji tentang bagaimana sih prinsip dunia dalam 20 tahun mendatang? Apa yang dibutuhkan hari ini? Aspek kognitif itulah hanya pada 15%. masih lebih banyak dibutuhkan pemecahan masalah karena itulah pemecahan masalah adalah bagian dari HOTS sehingga kalau pembelajaran dalam konteks pembelajaran atau pendidikan itu menekankan pemecahan masalah itu jauh lebih baik ketimbang hanya penekanan aspek kognitif, ini semakin ketemu jawabannya dengan era teknologi ini.

Contohnya begini, kalau hanya sekedar ingin tahu misalnya, apa rukun, kemudian syarat dan wajibnya haji? Cukup dengan googling (mencari di mesin google) saja itu cukup bisa mengetahuinya, tetapi bagaimana jika ada masalah itu?  Sehingga kalau cara pembelajaran kita para asatidz-asatidz kita, hanya terfokus pada aspek kognitif kemungkinan itu bermasalah di kemudian hari. Masalahnya banyak, contohnya Bagaimana mungkin kita tahu misalnya tentang suatu ayat, tentang suatu hukum Kenapa hukumnya seperti itu. memahami ayat saja misalnya, yang sering kali kalau di masyarakat kota seperti Jakarta sering kali misalnya kita dihadapkan pada sejumlah fakta misalnya Dalam Alquran disebutkan حرمت عليكم امهتكم diharamkan kepadamu ibu-ibu kamu sekalian,  itu tidak ada penjelasan apa yang diharamkan dalam ayat ini, artinya kalau orang hanya memahami pada level yang bawah; level berpikirnya tingkat bawah itu berarti yang diharamkan apa? Tidak ada penjelasannya dalam Alquran disitu secara tersirat dan tersurat tidak ada penjelasannya. Atau misalnya dalam ayat lain ولا تقل لهما اف dilarang kepada kedua orang tuamu berkata uh atau ah. maka pertanyaannya apakah memukul orang tua boleh? di Alquran kan tidak ada larangan memukul. nah kalau kita tidak masuk pada aspek pemecahan masalah bagaimana mungkin kita bisa menghadapi dunia yang penuh menantang dan penuh ketidakmenentuan.

Kita tidak pernah tahu tentang bagaimana 5 tahun atau 10 tahun dari hari ini. Buktinya begini di tahun 70-an orang bisa mengetik dan menggunakan mesin ketik itu sudah bisa menghasilkan uang dan bisa menjadi pekerjaan, tetapi hari ini itu sudah tidak bisa menjadi pekerjaan. orang dulu punya sepeda kemudian dia bisa naik sepeda di tahun 70-an atau 60-an dia sudah bisa menjadi loper koran dan itu bisa menghasilkan uang tetapi hari ini tidak bisa demikian lagi, karena prediksinya ada puluhan ribu pekerjaan yang hilang dan ada puluhan ribu pekerjaan baru yang muncul, nah kalau sekiranya santri tidak dibekali dari beragam keterampilan-keterampilan yang penting yang mulai dari pemecahan masalah, kemudian berpikir secara sistematis, kalau tidak secara proses dan sosial akan tertinggal.

Kalau hanya terfokus pada aspek hafalan misalnya, dihafal ayat ini dihafal surat ini, bahwasanya hukumnya membaca qunut begini, dalilnya begini, itu akan bermasalah ketika sebuah dalil yang sifatnya mengambil saja apa yang ada dalam kitab kuning misalnya kemudian dia berhadapan dengan realitas yang ada, bagaimana ketika bertentangan dengaan realitas, dalilnya mengatakan bahwa karena tumbuh di lingkungan NU, baca qunut itu adalah sudah menjadi kebiasaan. Sementara tiba-tiba dia pindah ke suatu kota atau sebuah negara, di mana qunut itu tidak menjadi kebiasaan atau pengikut madzhab lain. Nah seseorang bisa saja sangat terkaget-kaget karena dia menghadapi situasi di mana bertentangan dengan pengetahuan yang didapatkan sebelumnya.

Dari sinilah mengapa HOTS itu menjadi penting, karena misalnya dalam konteks PISA (Programme  for International Student Assesment) suatu lembaga untuk yang melakukan asesmen secara internasional di mana Indonesia menjadi bagian di dalamnya, Indonesia selalu berada di level paling buncit. Ukuran dari PISA itu adalah kemampuan membaca, matematika, dan sains. Terkait dengan yang ada di pesantren; membaca. Membaca dalam konteks pengertian yang luas bukan hanya bisa membaca tetapi juga bisa menganalisis. menganalisis cepat memahami sebuah konteks sebuah teks itu adalah membaca. Nah dalam konteks Itulah kenapa kemudian itu hoax menjadi sangat massif karena ternyata literasi kita itu sangat rendah, padahal sebenarnya pesantren itu memiliki tradisi memiliki pengetahuan yang sangat luar biasa.

Nah persoalannya adalah persoalan asumsi orang lain terhadap pesantren, itu masih miring. saya ketemu dengan banyak orang di luar pesantren –karena saya tidak selalu berada di pesantren– ketemu dengan beragam manusia dari lintas profesi itu berasumsi bahwa pesantren itu sangat tertutup, bahwa pesantren itu sangat dogmatis, tidak boleh berfikir kritis karna tunduk patuh terhadap kiai, pesantren itu kotor sampai suatu ketika saya pernah menulis suatu artikel di jurnal tahun 2009 yang judulnya adalah “Pesantren and The Freedom of Thinking” di jurnal al-Jaamiah itu, analisis saya menyimpulkan bahwa ternyata Ma’had Aly memberikan kebebasan berpikir yang sangat luar biasa dengan tradisi bahsul masaailnya. Jadi jika tradisi bahsul masaail ini dikembangkan dipesantren dengan sangat massif kemudian ditambah HOTS itu sudah pasti terlampaui. Dengan catatan, kalau bahsul masaail diterapkan sangat baik di pesantren, bahsul masaail kan bukan hanya menganalisis teks, bukan hanya menganalisis dari aspek lughowi, tapi istilahi mulai dari gramatikal arab, bayan sampai pada ushul fiqh. Dengan begitu di dalamnya sudah mencakup penerapan HOTS.

Ukuran Kemajuan Pesantren:

Tantangan berikutnya adalah ini terkait dengan fungsi pesantren yang perlu saya singgung saya kira bahwa pesantren itu memiliki tiga fungsi, yang pertama adalah fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Terhadap ketiga fungsi ini salah satu hal yang patut dibanggakan dari pesantren adalah bahwa pesantren perlu menjadi kiblat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia dalam satu sisi tentunya di pesantren ada hal-hal yang perlu dibenahi. Tetapi dalam konteks menyatunya antara pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat itu adalah hal baik yang ada di pesantren. Contohnya begini, kalau di sekolah secara umum maka kemudian kemajuan sebuah Lembaga Pendidikan itu hanya murni diukur dari jumlah siswa yang dimiliki, siswanya ikut olympiade, siswanya ikut itu ini. Sementara pesantren tidak demikian.

Kemajuan pesantren tidak semata-mata diukur dari jumlah santri yang dimiliki tetapi juga bagaimana dia mendidik santri yang ada di dalam. karena kita tahu kalau kebaikan pesantren itu hanya diukur dengan jumlah santri, maka pesantrennya Syaikh Kholil Bangkalan yang jumlah santrinya hanya puluhan itu tidak bisa dikategorikan sebagai pesantren yang bagus, karena itulah pesantren dengan sangat arif dan dengan sangat maju sekali bahwa kemajuan sebuah pesantren tidak diukur dari jumlah santri. Tetapi juga diukur dengan peran dalam pemberdayaan masyarakat misalnya,  karena itulah tidak ada gap tidak ada jurang pemisah antara pesantren dengan masyarakat yang ada di sekitarnya, apa yang ada di masyarakat itu juga diketahui oleh pesantren bahkan pesantren itu menjadi tools menjadi instrument pemberdayaan masyarakat. Itulah yang menarik, itulah yang berulang kali disampaikan oleh kiai Said atau pun oleh para kiai yang lain.

Lebih menarik lagi nama-nama pesantren yang berada di lingkungan Nahdhotul Ulama banyak lebih dikenal nama desanya bukan nama pesantrennya yang spesifik. Kediri, Krapyak, Lirboyo Situbondo dan lainnya yang dikenal adalah nama daerahnya. Itu menunjukan bahwa kemelekatan antara lembaga pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan fungsi pesantren sebagai pemberdayaan masyarakat.

Kemudian terakhir adalah dakwah, penyebaran Islam di Nusantara ini itu tidak lepas dari pesantren, dan pesantren itu akan terus kita usahakan menjadi kiblat muslim dunia. Jadi kalau kita berbicara tentang kenapa pesantren perlu menjadi kiblat dunia? Kiblat masyarakat muslim dunia? Karena pesantren mampu berhasil mengharmoniskan nilai-nila keislaman dan nilai-nilai Negara. Pesantren mampu mengharmonskan nilai-nilai yang ada dalam Islam dan nilai-nilai kebudayaan. Hal itu di beberapa Negara, beberapa tempat tidak terjadi, karena itulah di beberapa forum misalnya banyak disampaikan bawa nilai-nilai baik yang ada dipesantren itu perlu terus dikembangkan, perlu terus disuarakan.

Nilai-nilai baik yang ada dipesantren ini sayangnya kurag banyak terekspos ke luar yang menikmati hanya kalangan pesantren sendiri, sementara orang luar jarang menikmati khazanah yang ada dipesantren itu. Tantangannya itu soal konteks revolusi industri ada soal big data. Big data ini menjadi problem secara umum di komunitas pesantren. contohnya begini ada berapa banyak santri yang penghasilan orang tuanya di  bawah 1juta? Itu tidak ada datanya, belum ada datanya. Padahal dalam melaksanakan  undang-undang afirmasi pesantren itu misalnya Negara melakukan afirmasi terhadap pesantren itu memerlukan data, atau misalkan ada berapa jumlah asatidz yang perlu diintervensi yang perlu mendapatkan pelatihan khusus tentang pedagogi. Itu tidak ada datanya. lalu bagaimana mungkin melakukan afirmasi terhadapguru-guru kalau tidak ada datanya.

Tantangan berikutnya adalah internet of things (IOT) ini adalah bahwa segala sesuatu hari ini berada dalam internet, berada dalam genggaman tangan. Karena itulah kalau dalam koteks pembelajaran hari ini tentunya ini perlu disesuaikan dengan masing-masing pesantren, tetapi pesantren yang masih memungkinkan melakukan integrasi tekhnologi perlu dilakukan. Karena teknologi itu di satu sisi kalau berada di tangan orang yang tepat itu bukan suatu ancaman, tetapi itu membawa keberuntungan, membawa dampak positif. Sejauh ini pesantren masih berada di belakang dalam konteks ini.

Ada esensial skill  seperti kemampuan memecahkan masalah, kemampuan sosial, proses dan sistem adalah kemampuan yang paling akan dicari sebagai kemampuan inti dimasa mendatang. Jadi generasi mendatang bukan hanya dibekali dengan kemampuan menghafal tetapi kemampuan memecahkan masalah, kemampuan proses dan sistem, perlu dikembangkan di pesantren begitu juga dengan suber daya, sumber daya manusia pesantren perlu menjadi perhatian baik dalam aspek kompetensi maupun kesejahteraan.

Terakhir yang terkait dengan HOTS prinsipnya adalah HOTS itu bukan hanya sekedar berpikir, tetapi ada juga memecahkan masalah, merencanakan tindak lanjut kemudian aksi. Jadi HOTS ini sebenarnya bukan hanya paradigma berpikir yang hanya bisa muncul dalam ruang kelas bisa diterapkan para asatidz dan para guru. Tetapi bisa muncul dalam manajemen pesantren, muncul dalam pembelajaran.

Dalam manajemen pesantren misalkan inovasi-inovasi apa ketika ada masalah, kreativitas apa yang perlu untuk meningkatkan mutu pesantren tahun 2030. Begitu juga dengan pendidik, asatidz pesantren tidak cukup hanya mengajarkan apa dan bagaimana, tetapi juga mengapa sebagai salah satu langkah menghadirkan HOTS dalam pembelajaran.

Sumber: Diskusi Kepesantrenan P2i 25 April 2021

PESANTREN HELPING PESANTREN

KH. Dr. M. Tata Tufik, M.Ag

Pengantar:

Sementara ini pesantren sedang berkembang luar biasa dan dibanding data di Kemenag tahun 2019 ada 27.000 pesantren, sedangkan sekarang sudah ada 28.000 pesantren seluruh indonesia. Kalau ada penelitian yang serius mungkin bisa jadi setiap 15 menit muncul pesantren, itu tidak mustahil. Seperti halnya warung-warung berkembang dalam durasi 10 menit, selalu muncul warung baru di Indonesia. Sama halnya dengan pesantren yang berkembang dengan sangat pesat, kemudian animonya juga rata-rata setelah tahun 2014 sampai sekarang  pesantren itu grafiknya naik dan jumlah santrinya pun naik. Seiring lahirnya PMA (Peraturan Menteri Agama) No. 18 Tahun 2014 kemudian orang merasa tidak ragu lagi masuk pesantren. Terlebih lebih dengan adanya Undang-undang pesantren tahun 2019 akhir itu kita kebanjiran pertanyaan tentang pendirian pesantren dan tentang kemuadalahan.

Perkembangan Ini semua tentu memilih daya dorong yang serius bagi pesantren untuk mengembangkan dirinya. Misalkan pesantren yang tadinya luas sekarang menjadi sempit, karena adanya peningkatan jumlah santri dan sarana / lahan yang menjadi sangat terbatas. Itu akan menjadi problem sendiri bagi pesantren. Karena diperlukan ketersediaan dana yang cepat/tersedia cepat, yang mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pesantren. Sementara sumber dana Pesantren sangat klasik, sampai saat ini biasanya dari swadaya boleh jadi seperti dari masyarakat sekitar, wali santri, atau penghimpun dana dan lain sebagainya. Dan juga mengandalkan bantuan-bantuan dari pihak swasta maupun charity yang ada dengan tanda kutip membawa proposal. Itu model pendanaan yang sangat klasik menurut saya.

Perubahan Mindset:

Karena itu perlu ada perubahan, perubahan mindset. Mindset dari pesantren yang mengandalkan bantuan atau kepada keikutsertaan pihak-pihak luar dalam bentuk support itu menjadi pesantren yang mandiri. Mandiri dalam arti membangun sumber dananya sendiri untuk pengembangan pesantrennya. Kemandirian ini bisa saja sangat institusional, artinya sangat tergantung pada lembaga yang bersangkutan tapi juga bisa mengolah atau mebuat suatu langkah kebersamaan dari sekian pesantren.

Perubahan mindset berikutnya misalkan menyusun kekuatan yang tadinya kita hanya mengandalkan belas kasihan, itu mungkin kita harus rubah mindset-nya menjadi menyusun kekuatan finansial. Hal-hal seperti ini tentunya perlu pemikiran terutama dari pengasuh pesantren atau siapapun yang tertarik untuk mengembangkan pendidikan pesantren, ini kekayaan kita kekayaan bangsa kita. Kemudian kita juga harus mengubah cara berfikir yang tadinya menjadi penunngu menjadi pelaku dan penyedia dana, saya pikir ini sangat bisa sekali.

Pemikiran berikutnya membantu mengembangkan, jadi satu pesantren membantu pesantren yang lain. Ada pensantren yang plus ada yang minus, itu sebenernya saya yakin semua pesantren sudah punya pola/cara tersendiri untuk membantu pesantren yang lainnya. Tapi alangkah baiknya kegiatan seperti itu kalau diorganisir menjadi sebuah kekuatan yang besar sehingga terkumpul semacam ada dana abadi. Dana abadi tersebut pada gilirannya bisa digulirkan membantu pesantren-pesantren yang membutuhkan dana secara emergensi, besar, cepat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Katakanlah seperti menyongsong ajaran baru, atau ada lahan sekitar yang menempel pesantren mendesak dijual, itu perlu dana cepat. Saya pikir itu kita mampu, sehingga mengurangi ketergantungan-ketergantungan kepada lembaga perbankkan.

Pesantren Bantu Pesantren:

Kita membentuk organisasi P2I , itu kan perlu langkah-langkah yang nyata yang itu bisa dirasakan oleh teman-teman pengasuh pesantren yang sangat membutuhkan. Walaupun kalau boleh saya review sedikit, keberadaan P2I sejak 2015 sampai sekarang itu sedikit banyaknya mesti ada peranserta dalam membantu pesantren. Katakanlah sebagai contoh misalnya ketika terjadi bencana lombok, itu saya lihat kita mampu mengirimkan sekitar 195 juta itu hanya bermodalkan group whatsapp saja. Kemudian pada  bencana di Palu, kita mampu mengirimkan sebesar 70 juta dan ke Lebak kita mampu mengirim 100 jutaan. Itu salah satu contoh kecil bahwa keberadaan P2I sudah telihat bintik-bintik kemampuan helping saling membantu satu sama lain walaupun baru pada kasus-kasus bencana alam.

Itu adalah suatu potensi. Alangkah baiknya kalau kegiatan seperti ini diorganisir, katakanlah P2I mengorganisir penghimpunan dana dari pesantren yang berminat. Untuk bisa menghimpun yang kemudian nanti dengan rekomendasi pesantren yang membutuhkan, disurvei dan lain sebagainya. Kemudian kita bantu dengan catatan sifatnya dana talangan bagi pesantren yang membutuhkan dana.  Jadi tidak berupa grand/hibah, untuk sementara bentuk dana talangan, tapi kalau sudah melimpah ruah mungkin grand sudah bisa kita bangun.

Kemudian tentu saja bentuk ketersedian ini secara bersama-sama kita menghimpun, menghimpun dana dari bebagai pesantren yang berminat. Kemudian kalau satu bulan dari satu pesantren 1 juta, berarti kalau 200 pesantren berarti 200 juta, itu hanya sebagai contoh. Sementara ini jika mengandalkan proposal kepada instansi atau Kementerian tertentu, dalam satu tahun anggaran paling berkisar antara  50 juta hingga 250 juta, jika ada program tertentu berkisar 1 Milyar itu pun harus tunduk kepada kriteria dan persyaratan pemberi proyek. Sementara sampai saat ini  belum ada yang memulai organisir ini yang mencoba untuk melangkah, pertanyaan saya, bisakah kalau misalkan P2I ini mengorganisir penghimpunan dana tersebut? kemudian bagaimana sistem distribusinya? Sistem pengelolaannya seperti apa?.

Kalau misalkan ternyata pengasuh pesantren mampu membuat sesuatu yang mandiri dan tidak bergantung kepada lembaga-lembaga keuangan yang lain, saya pikir ini sangat luar biasa. Sasarannya adalah dari segi penyediaan itu bisa pesantren yang berminat, pihak swasta/perorangan dan bisa juga masyarakat umum. Kalau sudah terbentuk lembaganya atau mekanisme kerjanya. Maka kemudian disepakati  sasaran penggunaannya: pesantren yang berada pada posisi membutuhkan percepatan akan sarana atau perluasan lahan dan lain sebagainya. Kemudian pesantren anggota, itu nanti sangat bisa berperan. Kalau saja beberapa lembaga keuangan besar yang ada di inonesia yang sangat populer seperti Qatar charity. Mungkin memang di Qatarnya mereka buka kotak semacam kotak amal di negaranya. Berangkat dari situ maka kita harus sudah membangun kekuatan itu, tidak apa-apa memulai dari yang terkecil, tapi minimal ada kemauan.

Mencari Bentuk:

Zaman sudah Modern, saya pikir secara ekonomi pesantren sudah maju, pesat dan berkiprah. jadi sifatnya mungkin nanti pinjaman berjangka dan siap mengembalikan. Kemudian ada kewajiban infaq bagi pengguna, misalkan minjam 500 juta dan penembalian ada keewajiban infaq. Toh ke lembaga-lembaga keuangan ada rent nya juga yang harus dibayar. Tapi kalau kita ini akadnya lain, jadi berbentuk infaq. Katakanlah wajib infaq  bagi pengguna, sehingga nanti sisa dari infaq itulah terkumpul pada gilirannya akan menjadi suatu kekuatan dari sesuatu infaq kita sendiri. Kemudian kita bisa membantu pesantren-pesantren yang lain yang tentu saja membutuhkan. Ini orientasinya percepatan terus terang saja, jadi kalau kita lebih mandiri/lebih bisa menyelesaikan sendiri kekuatan akan lebih diperhitungkan.

Infaq dihimpun menjadi modal, tentu dalam pendristribusiannya perlu adanya studi kelayakan, rekomendasi dan lain sebaginya. Ini adalah salah satu pokok pikiran yang sangat menggelitik sekali. Sebetulnya ada 2, yang pertama adalah pesantren helping pesantren, dan yang kedua bagusnya ini umat islam punya lembaga pemberi beasiswa sendiri. Sementara ini banyak dilakukan oleh pihak lain, seperti penghimpun dana seperti “kitabisa.com”, itu kan kalau lemabaga mengajukan dan memanfaatkan portalnya, maka akan kena 5% kalau tidak salah, jadi dari dana yang  terhimpun  itu diambil 5% dan itu laku sekali. Menurut saya kenapa dana kita lari ke tempat lain, apakah kita tidak mampu melakukan pengorganisasian seperti ini. Ini menururt saya beberapa pokok pemikiran, intinya kita harus sudah mulai bertindak.

Pesantren itu kan sudah ada sebelum indonesia ada, sekarang kita sudah di tahun 2021 artinya kita sudah lebih dari 1 abad pesantren di Indonesia. Kalau dilihat sejarah memang sangat awal sekali, masa iya sampai sekarang belum ada suatu lembaga yang itu dikelola oleh para pengelola pesantren yang mencoba menyelesaikan permasalahan-permasalahan pesantren, baik berupa saling bantu satu sama lain maupun berupa bentuk beasiswa bagi para santrinya.

Sambutan Pengasuh:

Ketika gagasan ini disampaikan kepada salah satu pengasuh pesantren, langsung direspons kalau ia berminat, bahkan langsung menyatakan siap menyediakan modal 500 juta. Karena sudah ada yang minat jadi kapan kita mau bertindak, menyusun mekanisme tata kelolanya kemudian jalan dan setelah itu kita evaluasi lagi. Kemudian kita kembangkan dan memiliki kemandirian bagi seluruh pesantren nantinya.

Kalau kita tidak lakukan, secara internal berarti pesantren akan berposisi menunggu dan memohon. Saya ingin mindset ini berubah menjadi pelaku dan menjadi pembantu pada titik tertentu mungkin. Sehingga keberadaan kita sebagai para pengasuh pesantren di era 2021 ini ada gerakannya. Semantara ini kita hanya melaksanakan konsep-konsep yang dimiliki oleh pendahulu kita, dengan pola-pola yang sudah baku, sudah berjalan dan sudah teruji. Akan tetapi dari segi inovasi dalam bentuk pendanaan dan lain sebagainya mungkin perlu juga dipikirkan supaya melahirkan sesuatu kekuatan. Memang selau ada kekhawatiran-kekhawatiran, misalkan khawatir tidak amanah, khawatir itu ini. Jangan-jangan kalau sudah kita mulai, yang dikhawatirkan malah jadi kebalikannya malah sangat ampuh dan sangat bagus. Itu sebagai muqadimah dari saya, mudah-mudahan bisa berjalan dengan lancar.

TANGGAPAN PESERTA DISKUSI

intinya yang kita dengar tadi adalah semacam dana bergulir yang kita kolek dari lingkungan pesantren sendiri , yang kemuadian menjadi semacam launch. Kita harapkan bisa snowballing dari satu pesantren kepada pesantren yang lain yang membutuhkan dana itu. (Hadi Mujiono: Moderator).

Bicara tentang bantuan penggalangan dana atau semacamnya, akhirnya mencapai kesimpulan bahwa orang-orang yang memiliki uang baik itu perorangan maupun pemerintah, mereka itu membantunya secara pilih-pilih. Kalau pesantrennya tidak tenar atau belum terkenal itu mereka ogah-ogahan membantunya. Jadi mereka masih tetap ada unsur-unsur bahwa kalau mereka membantu itu bisa menambah gengsi atau perusahannya bisa terpromosikan, atau individunya nanti dapat suara dari masyarakat untuk pemilihan yang akan datang. Ketika meminta bantuan kepada beberapa donatur, baik donatur yang bersifat individual ataupun yang berbentuk kelembagaan (lembaga swasta/pemerintah). Hampir rata-rata menanyakan “pesantren kamu muridnya berapa? statusnya bagaimana? dan apa dampak buat saya apabila membantu pesantren kamu?”. ini menjadi penghambat bagi pesantren terhadap sumber-sumber pembiayaan dari luar dirinya. Mungkin itu tanggapan dari saya, mohon ini untuk disikapi bagaimana menganggapi dalam hal ini. (Abdul Kholik M.Ag  Wakil Ketua P2i).

Saya ingin menambahkan, itu mungkin sangat menarik apa yang telah dikonsepkan/ dipikirkan/ diidekan oleh pak Kiyai Tata tadi. Saya pikir sebetulnya kalau kita baru dipikirkan sekarang itu juga terlambat, mustinya sudah lama kita berpikir seperti itu karena sudah banyak sekali lembaga-lembaga yang sudah melakukannya. Katakanlah seperti awalnya dompet du’afa dan diikuti oleh lembaga-lembaga lain. Ini kan menambah kepercayaan apabila menjadi lembaga yang resmi. Bentuk lembaganya seperti misalnya “BMT Bersama” tapi bentuknya buka simpan pinjam akan tetapi bentuknya pengumpulan dana atau bagaimana nanti kita atur.

Memang ini harus kita tata, saya rasa masyarakat kita ini sangat baik dan sangat dermawan. Saya pikir ini sangat bagus, tinggal kita pikir bagaimana kira-kira kita membuat konsep pengembangan keuangannya. Mulai dari yang sederhana, misalnya tadi katakanlah awalnya berinvestasi tetapi bentuk investasinya bukan kepentingan bisnis tetapi untuk membantu pesantren satu dengan yang lain. Sebenarnya memang kita sudah saling membantu dalam bentuk pengabdian.

Dalam undang-uandang pesanten itu salah satu fungsi pesantren adalah pengabdian kepada masyarakat, ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Fungsi  ini sama halnya dengan perguruan tinggi. Saya kira nanti kita bicarakan lebih lanjut, bagaimana mekanismenya, perlu dibuat semacam pedoman peraturan pengelolaan dana. Nanti disusun organisasinya, strukturnya seperti apa, saya rasa banyak sekali alih-alih yang bisa terlibat di dalamnya. (KH . Ahmadi Thaha Penulis Senior Mantan Sekjen PUI).

Saya menanggapi bapak Ahmadi, dulu kita pernah membahas tentang P2I ini, untuk bisa membawa partner yang bisa mendanai beberapa pesantren yang memang kita akan membantu. Dan waktu tu kita tercetus untuk membuat Lazis atau segala macam. Cuma memang terkendala dari para pengasuh pesantren sudah disibukkan oleh urusan pesantrennya masing-masing. Maka kita membutuhkan tenaga kerja yang profesional. Pertanyaannya kalau kita memakai tenaga profesional ini maka hitung-hitungannya profesional juga, apakah layak untuk sebuah organisasi pesantren seperti ini menggunakan tenaga luar yang harus terhitung dengan material juga. Kemudian lembaga mana yang bisa kita sisir menjadi sumber-sumber bagi ide seperti ini (KH Abdul Khaliq MA).

Pesantren itu kita lihat kebelakang dahulu, mbah-mbah kita itu mandirinya itu sangat luar biasa sampai-sampai tanahnya itu diwakafkan. Ini sejarah masa lalu yang saya rasa untuk spririt untuk masa depan. Jadi para pendahulu kita itu memang benar-benar membangun pondok itu dari dirinya sendiri bukan dari orang lain. Ini sejarah emas mencatat artinya bagaimana prinsip dasar islam itu menurut saya yaitu kekuatan islam itu berada pada ekonomi.

Sebagaimana Rasulullah SAW berdakwah melalui kekuatan ekonomi ditopang oleh istrinya sayidah Khadijah R.A (saudagar kaya). Saya pikir ini menjadi spirit kita untuk P2I bagaimana pesantren ini kita tarik untuk kembali pada marwah menjadi kemadirian itu. Jangan yang hanya mengemis-mengemis terus. Kemudian muncul sebuah negara, dalam negara itu ada APBN, APBD dan lain lain. Kemudian karena itu kita selalu membuat proposal, walaupun itu hak tapi ini akan menurunkan marwah-marwah nilai pesantren itu sendiri. Kalau berbicara hak, memang itu hak (untuk mendapatkan bantuan) tapi sebelum ke proposal itu kita sudah kaya terlebih dahulu. Nah bagaimana supaya kita kaya itu, dalam fiqih itu ada “Al-Qodru” (utang piutang) apa yang telah disampaikan oleh Kiyai Tata. Saya setuju bagaimana P2I ini menghimpun dana sebesar-besarnya kemudian ada suatu pesantren yang butuh bisa dipinjamkan. Saya pikir itu langkah yang bagus tetapi bukan hanya memberikan bantuan saja tapi tanpa ada ikatan (ikatan syari’at) nah Al-Qodru  ini syari’at betul didalam fiqih kita itu ada. (KH. Luqman Haris Dimyati, PP Tremas Pacitan).

Pertama yang ingin saya sampaikan bahwa sprit pondok pesantren itu harus berakar dari pribadi kiyai masing-masing. Semisal persoalan dana dan kekayaan yang harus berlimpah kalau kata Gus Luqman, saya sepakat. Tetapi harus digaris bawahi juga sekaya apapun seorang kiyai tidak akan pernah cukup keuangannya untuk membesarkan pesantren, karena pembangunan pesantren akan terus berkembang.

Yang kedua yang ingin saya sampaikan bahwa selama ini menurut saya terutama P2I, kita masih terjebak dari persoalan-persoalan dana yang lebih ditekankan kepada peningkatan sarana dan prasarana padahal ada yang lebih penting sebenarnya. Semisal bagaimana output dan outcome santri kita kedepan, maksud saya bagaimana kualitas pendidikan santri-santri kita bisa bersaing bukan saja di indonesia tapi juga diluar negeri. Seperti pesantren salafiyah, yang ditekankan oleh pesantren salafiyah itu bukan hanya bisa membaca dan memahami kitab kuning, tetapi mereka bisa mengaktulisasikan dan mengkontektualisasikan kitab kuning itu. Atau pesantren-pesatren modern itu bisa mengembangkan kemampuannya di dunia pesantren selanjutnya. Saya juga perlu menyampaikan ini karena dari beberapa dari diskusi yang kita sampikan itu sepertinya belum tersentuh sama sekali dari pembicaraan selama ini.

Saya menilai dari beberapa kasus dinegara kita, kalau kita menoleh ke sejarah juga ketika indonesia dalam masa-masa yang belum maju maka kaum santri didepan, dan ketika masa santri sudah mulai berkembang maka kaum santri sering termarginalkan. Saya tidak tahu persoalan kenapa, apa karena kaum santri belum bisa dikatakan layak menjadi pemimpin atau memang ada persoalan-persoalan ideologi atau juga persoalan-persoalan spiritual yang menuntut kaum santri harus back to home mereka masing-masing, nah ini persoalan yang sangat urgent dibahas di P2I. Kalau persoalan dana saya sepakat, silahkan apabila pa kiyai Tata ada ide bagaimana kita mengumpulkan dana atau bahasa kiyai Luqman “Al-Qodru” malah saya sangat senang itu. Saya mendapat pinjaman lunak seperti itu saya sangat bersyukur dan itu akan sangat membantu saya secara pribadi, tapi saya memohon Al-Qodru nya jangan terlalu seperti bank syari’ah. (KH. Dr. Mushalli Ready PP Nurud Dhalam Jatim).

Jadi Al-Qodru itu banyak dikenal dengan istilah Al-Qodru Hasan, jadi konsep ini belum ada atau belum banyak yang melakukannya. Al-Qodru Hasan itu sebenarnya konsep ekonomi islam yang paling dihandalkan dan yang paling diharapakan kehadirannya, jadi kalau P2I ini menghadirkan Al-Qodru Hasan ini akan menjadi luar biasa karena belum ada yang berani melakukannya.

Mungkin kalau Al-Qodru Hasan ini dihadirkan akan menjadi Bid’ah Hasanah yang bisa diikuti oleh semua pelaku ekonomi islam. Jadi Ekonomi Syari’ah sedang menunggu-menunggu siapa yang bisa melakukan ini. Saya kira tepat ini dilakukan di lingkungan Pesantren, meskipun kita cari kemana-mana dan ujung-ujungnya kan ketemu Al-Qodru Hasan itu. (KH. Ahmadi Thaha).

Terima kasih atas ide-ide segarnya, kalau bertemu kan seperti ini seru. Kemarin saya juga bertemu dengan Gus Luqman tapi membahasnya ijazah jadi tidak seru, kan kalau ini aga seru. Ini kan sebetulnya P2I ini kita punya makna pada 2 sisi itu, artinya pada sisi kekuatan secara ekonomi pandanaan kita ingin berperan. Kemudian pengembangan SDM juga berperan, pengembangan SDM yang sebagimana ditawarkan oleh Pak Musholih. Misalkan bagaimana kualitas dari santri kita itu kedepan betul-betul mendunia. Ada olah kemampuan membaca yang kemudian menjadi aktualisasi. Sebenarnya spirit-spirit itu ada didalam semangat P2I, kita ingin bidikannya itu kepada kegiatan SDM akan tetapi memang InsyaAllah kita punya sumber yang bisa melihat pendidikan pesantren, model pengembangannya untuk ke arah kedepan. Itu bisa berbentuk pelatihan-pelatihan dan lain sebaginya, saya pikir mungkin tidak merubah secara langsung tapi minimal membangun image atau virus kepada para santri bahwa mereka itu memiliki kewajiban-kewajiban untuk berada ditengah (tidak marginal).

Terimakasih kita sudah menemukan pola, mungkin nanti konsepnya kalau kita datang kepada penyedian dana itu konsepnya Al-Qodru dari Gus Luqman. Mungkin kalau satu sudah dimulai nanti akan berkembang menemukan kelembagaan-kelembagaan ini, yang penting kita ketemu kemudian kita uji coba dan kalau memang berhasil saya sampai berpikir seperti ini “oke kita ambil tapi saya harus bisa menggaransi” jadi secara mandiri harus bisa menggaransi. Jadi ketika kita mau ambil kebijakan itu, maka kita harus mampu menggaransi, seandainya ada satu prestasi maka kita harus siap menjadi semacam bank garansinya (kira-kira seperti itu). Kalau pergerakan saya pikir itu lumrah, itu bisa dilakukan karena kalau dilihat dari sejarah pendahulu, memang ibu Nya’inya itu bank garansinya. Jadi ketika kepepet maka dijualnya perhiasan Bu Nya’inya (sama halnya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari).

Tapi dalam pertemuan-pertemuannya berikutnya InsyaAllah barangkali harapan-harapan dari  Kyiai Hutan (Pak Musholi), itu nanti saya akan mencoba meminta Gus Rozin untuk menyajikan “Pesantren dengan pengembangan HOTS (Higher Order Thinking Skill) nya. Atau “menganalisis aktivitas pesantren dengan kaca mata HOTS. Nanti itu kita akan menemukan polanya. Itu salah satu berpikir pada outcome,  karena kalau output itu sudah ketahuan oleh kita.  Karena outcome juga, ini agak perlu waktu lama tapi dia perlu virus yang bagus dengan mengenalisis pesantren dari berbagai aktivitasnya. Seperti yang kita lakukan dengan buku putih itu, kita sudah menghadirkan beberapa model pesantren, kemudian kurikulum dipandang dengan sedemikian luas dari setiap ungkapan yang ada dari pesantren, itu kita jadikan sebagai salah satu model  kurikulum. (Closing Statement oleh Dr. M. Tata Taufik M.Ag).

(Sumber: Diskusi Kepesantrenan P2i Melalui Zoom 17 April 2021)