Pengembangan Pesantren Dalam Perspektif HOTS

Dr. Hatim Gazali (Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah RMI)

Pengantar:

Bicara Higher Order Thinking Skills (HOTS) di pesantren itu seperti berbicara sesuatu hal yang asing di pesantren, kesannya hal yang asing di pesantren, karena secara terminologi Higher Order Thinking Skills itu bukan terminologi yang muncul di tengah-tengah pesantren, Pesantren tidak mengenal istilah itu apalagi Pesantren secara umum sebagian yang menganggap bahwa istilah-istilah yang muncul dalam perspektif yang konsisten beda halnya jika di terjemahkan ke dalam bahasa Arab yang cenderung lebih diterima.

Padahal kalau kita kaji lebih jauh tentang apa yang ada di pesantren apakah sepenuhnya sudah ada HOTS ataukah tidak kita lihat nanti. Higher Order Thinking Skills itu disebut dengan keterampilan itu bagian dari berpikir kritis critical thinking. Dalam critical thinking itu ada tahapan-tahapan dalam berpikir mulai dari level paling rendah yaitu seperti ada recall thinking ada basic thinking kemudian level sampai pada critical thinking dan yang lebih tinggi itu adalah creative thinking, itulah yang di sebut dengan HOTS.

Kemudian, kenapa Higher Order Thinking Skills? Salah satunya muncul dari Benjamin Bloom, jadi ketika orang membicarakan HOTS itu selalu dikaitkan dengan konsep yang dikembangkan oleh Bloom dari buku yang diterbitkan pada tahun 56 berjudul “Taxonomy of Educational Objectives and Classification of Educational Goals” yang mengkategorisasikan pola pikir manusia mulai dari rendah sampai yang tinggi. Karena itulah kemudian konsep ini memiliki tujuan dalam konteks pembelajaran.

Dari Ki Hajar Dewantara ke HOTS:

Pembelajaran  dalam konteks ini dibagi tiga ranah; kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga ada level-level kategori berpikir yang sifatnya kognitif kemudian ada juga yang efektif ada motorik yang sebenarnya dalam konteks pendidikan di Indonesia itu yang lebih komplit sebenarnya apa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, terkait dengan Tri Sakti; ada Cipta ada Rasa dan Karsa. Itulah  mengapa tidak boleh peserta didik atau santri hanya di asah pikirannya saja, tetapi juga hatinya dan karsanya.

Ini berulang kali saya sampaikan misalnya beberapa kali di forum Kemendikbud menyatakan bahwa kalau pendidikan nasional ingin melakukan reformasi yang cukup signifikan maka pendidikan nasional tidak bisa mengabaikan praktik baik yang ada dalam pesantren, praktik baik yang seperti apa yang ada dalam pesantren? pesantren pendekatanya sangat holistik tidak hanya mengejar kognitif, santri tidak hanya sekedar mengejar bahwasanya itu hafal Alfiah atau menghatamkan sejumlah syair-syair tertentu, tidak. tidak juga menghafal Al-Qur’an. tidak sekedar itu. Tetapi, santri juga sampai diminta untuk bagaimana mengelola hatinya karena itulah hati ini sangat luas dalam pengertian di pesantren, salah satunya mulai soal tasawuf sampai kemudian tingkah laku di hadapan Tuhan di hadapan Allah sampai pada etika. Karena itulah banyak pesantren kemudian pendekatannya tidak hanya pada pengembangan aspek kognitif santri, tetapi juga aspek afektif nya, aspek hatinya, rasanya. Begitu juga dengan karsa, Jadi kalau bicara soal bagaimana Cipta Rasa dan Karsa itu saya kira Ki Hajar Dewantara banyak terinspirasi dari apa yang telah ada dalam pesantren. Di salah satu bukunya misalnya Ki Hajar Dewantara bicara bahwa santri, bahwa seorang pembelajar dan guru itu harus tinggal dalam satu lingkungan yang sama. itu sudah mengandaikan sekali bahwa apa yang disampaikan oleh Ki Hajar adalah Pesantren, karena mengandaikan bahwa santri dengan gurunya itu berada dalam satu asrama yang sama dalam lingkungan yang sama.

HOTS ini lazim digunakan dalam konteks kegiatan belajar mengajar, di Indonesia jarang sekali HOTS itu diterapkan dalam konteks pengembangan sebuah kelembagaan atau institusi pendidikan, biasanya muncul dalam pembelajaran. karena muncul dalam pembelajaran biasanya pada ranah kognitif itu soalnya terdiri dari remembering kemudian undestanding memahami dan mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan.

Contohnya dari mengingat soal wudhu, santri kemudian bisa paham berapa sih hal-hal yang membatalkan wudhu dia bisa menyebutkan satu sampai berapa belas itu, tergantung Imam mazhab yang digunakan, terus memahami juga begitu. lalu kemudian mengaplikasikannya, bisa teraplikasikan tidak dalam praktek wudhunya?  Kemudian menganalisis, nah menganalisis ini yang sering kali dalam konteks pesantren itu tidak banyak dalam konteks pendidikan secara umum, jarang sekali dikembangkan kemampuan menganalisis. Jadi seseorang tidak tahu kenapa harus melakukan ini dan itu? Kenapa, misalnya dalam konteks hukum Islam itu ada hukum wajib ada hukum sunah, mubah, haram. kenapa ada begitu? jarang sekali masuk ke dalam ranah analisis apalagi kalau ranah analisis mengevaluasi dan menciptakan ini kan sudah level kategori HOTS, sehingga kalau dalam konteks Pesantren, ini pasti diajarkan sudah pada level katakanlah “advance.” Yang perlu dipahami adalah sering kali orang salah paham bahwa kita harus HOTS tetapi sering kali mereka melalaikan, lupa terhadap yang bawah padahal yang bawah ini remember, understanding dan applying  itu adalah syarat untuk menuju pada level di atasnya.

Ketika saya training beberapa guru misalnya itu didapati bahwa kita harus menerapkan HOTS kemudian istilah dikenal dalam kurikulum 2013 misalnya C1, C2, C3 dan seterusnya itu, kita harus sampai pada C5. Bagaimana bisa sampai pada C5 sementara C1-nya yang sifatnya remembering yang sifatnya mengingat itu tidak dicapai. Misalnya begini, bagaimana mungkin seseorang bisa menganalisis sebuah ayat Al-quran tentang ayat-ayat ahkam misalnya jika tentang hukumnya saja tidak tahu. Atau mungkin ayatnya saja tidak tahu. bagaimana mungkin seorang asaatidz misalnya, seorang penceramah, mubaligh menjelaskan sebuah ayat yang ayatnya sendiri tidak tahu. itu yang bermasalah dalam konteks ranah kognitif itu sering kali orang salah paham bahwa kita harus di level yang tinggi tetapi suka melalaikan dan suka lupa level di bawahnya, padahal level di bawah itu harus dicapai dulu untuk mencapai level di atasnya. Ini sifatnya hirarkis, kita tidak bisa mencapai level memahami kalau tidak mengingat, mengingat itu sifatnya jangka pendek kemudian mengaplikasikan level yang lebih tinggi lagi. Jadi apa yang mau diaplikasikan kalau tidak bisa memahami jadi sifatnya ini sifatnya hirarkis tidak bisa dilewati begitu saja.

Kalau seorang santri ingin menganalisis suatu hal, maka dia bisa memulai dari yang paling bawah, mengingat dulu, dan di level ibtidaiyah misalnya sudah mulai belajar hal-hal yang sifatnnya menghafal. Kita tahu bahwa di pesantren itu ada banyak sekali hafalan-hafalan mulai dari Aqidatul Awam kemudian Tajwid itu ada banyak hafalan, mulai dari paling sederhana misalnya Asmaul Husna sampai pada misalnya hafalan Hafalan gramatikal Arab. Nah itu pada level remembering, tapi kan tidak semua orang yang menghafal itu kemudian memahami. Untuk level memahami saja misalnya memahami Ibnu Akil saja sudah levelnya sangat tinggi apalagi mengaplikasikan. Banyak orang yang tahu tentang satu kaidah misalnya kaidah fail misalnya atau failnya tetapi tidak tahu bagaimana mengaplikasikannya apalagi menganalisis ke dalam sebuah teks, ke dalam sebuah ayat, ke dalam sebuah hadis, atau ke dalam sebuah kitab kuning pada umumnya, jadi ranahnya begitu.

Ranah ini bisa dikembangkan karena juga belum mengembangkan dalam ranah afektif dan dalam ranah psikomotorik, tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa ranah mulai dari remember, mengingat, memahami, mengaplikasikan itu bersifat dinamis tidak bisa dilewati satu dan yang lain.

Menelisik HOTS di Pesantren:

Mengapa kita penting untuk bicara soal Higher Order Thinking Skills ini? Karena yang pertama adalah HOTS ini diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir manusia atau peserta didik sehingga ia memiliki sisi afektif dan psikomotorik yang handal guna dapat beradaptasi dengan dunia yang di atasnya ini agar dapat beradaptasi menghadapi tantangan dunia yang sangat menantang dan ada di masa depan yang tidak penuh penentuan.

Kedua kenapa penting? karena kita tahu ini adalah hasil, jarang sekali misalnya pesantren sendiri mengkaji tentang bagaimana sih prinsip dunia dalam 20 tahun mendatang? Apa yang dibutuhkan hari ini? Aspek kognitif itulah hanya pada 15%. masih lebih banyak dibutuhkan pemecahan masalah karena itulah pemecahan masalah adalah bagian dari HOTS sehingga kalau pembelajaran dalam konteks pembelajaran atau pendidikan itu menekankan pemecahan masalah itu jauh lebih baik ketimbang hanya penekanan aspek kognitif, ini semakin ketemu jawabannya dengan era teknologi ini.

Contohnya begini, kalau hanya sekedar ingin tahu misalnya, apa rukun, kemudian syarat dan wajibnya haji? Cukup dengan googling (mencari di mesin google) saja itu cukup bisa mengetahuinya, tetapi bagaimana jika ada masalah itu?  Sehingga kalau cara pembelajaran kita para asatidz-asatidz kita, hanya terfokus pada aspek kognitif kemungkinan itu bermasalah di kemudian hari. Masalahnya banyak, contohnya Bagaimana mungkin kita tahu misalnya tentang suatu ayat, tentang suatu hukum Kenapa hukumnya seperti itu. memahami ayat saja misalnya, yang sering kali kalau di masyarakat kota seperti Jakarta sering kali misalnya kita dihadapkan pada sejumlah fakta misalnya Dalam Alquran disebutkan حرمت عليكم امهتكم diharamkan kepadamu ibu-ibu kamu sekalian,  itu tidak ada penjelasan apa yang diharamkan dalam ayat ini, artinya kalau orang hanya memahami pada level yang bawah; level berpikirnya tingkat bawah itu berarti yang diharamkan apa? Tidak ada penjelasannya dalam Alquran disitu secara tersirat dan tersurat tidak ada penjelasannya. Atau misalnya dalam ayat lain ولا تقل لهما اف dilarang kepada kedua orang tuamu berkata uh atau ah. maka pertanyaannya apakah memukul orang tua boleh? di Alquran kan tidak ada larangan memukul. nah kalau kita tidak masuk pada aspek pemecahan masalah bagaimana mungkin kita bisa menghadapi dunia yang penuh menantang dan penuh ketidakmenentuan.

Kita tidak pernah tahu tentang bagaimana 5 tahun atau 10 tahun dari hari ini. Buktinya begini di tahun 70-an orang bisa mengetik dan menggunakan mesin ketik itu sudah bisa menghasilkan uang dan bisa menjadi pekerjaan, tetapi hari ini itu sudah tidak bisa menjadi pekerjaan. orang dulu punya sepeda kemudian dia bisa naik sepeda di tahun 70-an atau 60-an dia sudah bisa menjadi loper koran dan itu bisa menghasilkan uang tetapi hari ini tidak bisa demikian lagi, karena prediksinya ada puluhan ribu pekerjaan yang hilang dan ada puluhan ribu pekerjaan baru yang muncul, nah kalau sekiranya santri tidak dibekali dari beragam keterampilan-keterampilan yang penting yang mulai dari pemecahan masalah, kemudian berpikir secara sistematis, kalau tidak secara proses dan sosial akan tertinggal.

Kalau hanya terfokus pada aspek hafalan misalnya, dihafal ayat ini dihafal surat ini, bahwasanya hukumnya membaca qunut begini, dalilnya begini, itu akan bermasalah ketika sebuah dalil yang sifatnya mengambil saja apa yang ada dalam kitab kuning misalnya kemudian dia berhadapan dengan realitas yang ada, bagaimana ketika bertentangan dengaan realitas, dalilnya mengatakan bahwa karena tumbuh di lingkungan NU, baca qunut itu adalah sudah menjadi kebiasaan. Sementara tiba-tiba dia pindah ke suatu kota atau sebuah negara, di mana qunut itu tidak menjadi kebiasaan atau pengikut madzhab lain. Nah seseorang bisa saja sangat terkaget-kaget karena dia menghadapi situasi di mana bertentangan dengan pengetahuan yang didapatkan sebelumnya.

Dari sinilah mengapa HOTS itu menjadi penting, karena misalnya dalam konteks PISA (Programme  for International Student Assesment) suatu lembaga untuk yang melakukan asesmen secara internasional di mana Indonesia menjadi bagian di dalamnya, Indonesia selalu berada di level paling buncit. Ukuran dari PISA itu adalah kemampuan membaca, matematika, dan sains. Terkait dengan yang ada di pesantren; membaca. Membaca dalam konteks pengertian yang luas bukan hanya bisa membaca tetapi juga bisa menganalisis. menganalisis cepat memahami sebuah konteks sebuah teks itu adalah membaca. Nah dalam konteks Itulah kenapa kemudian itu hoax menjadi sangat massif karena ternyata literasi kita itu sangat rendah, padahal sebenarnya pesantren itu memiliki tradisi memiliki pengetahuan yang sangat luar biasa.

Nah persoalannya adalah persoalan asumsi orang lain terhadap pesantren, itu masih miring. saya ketemu dengan banyak orang di luar pesantren –karena saya tidak selalu berada di pesantren– ketemu dengan beragam manusia dari lintas profesi itu berasumsi bahwa pesantren itu sangat tertutup, bahwa pesantren itu sangat dogmatis, tidak boleh berfikir kritis karna tunduk patuh terhadap kiai, pesantren itu kotor sampai suatu ketika saya pernah menulis suatu artikel di jurnal tahun 2009 yang judulnya adalah “Pesantren and The Freedom of Thinking” di jurnal al-Jaamiah itu, analisis saya menyimpulkan bahwa ternyata Ma’had Aly memberikan kebebasan berpikir yang sangat luar biasa dengan tradisi bahsul masaailnya. Jadi jika tradisi bahsul masaail ini dikembangkan dipesantren dengan sangat massif kemudian ditambah HOTS itu sudah pasti terlampaui. Dengan catatan, kalau bahsul masaail diterapkan sangat baik di pesantren, bahsul masaail kan bukan hanya menganalisis teks, bukan hanya menganalisis dari aspek lughowi, tapi istilahi mulai dari gramatikal arab, bayan sampai pada ushul fiqh. Dengan begitu di dalamnya sudah mencakup penerapan HOTS.

Ukuran Kemajuan Pesantren:

Tantangan berikutnya adalah ini terkait dengan fungsi pesantren yang perlu saya singgung saya kira bahwa pesantren itu memiliki tiga fungsi, yang pertama adalah fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Terhadap ketiga fungsi ini salah satu hal yang patut dibanggakan dari pesantren adalah bahwa pesantren perlu menjadi kiblat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia dalam satu sisi tentunya di pesantren ada hal-hal yang perlu dibenahi. Tetapi dalam konteks menyatunya antara pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat itu adalah hal baik yang ada di pesantren. Contohnya begini, kalau di sekolah secara umum maka kemudian kemajuan sebuah Lembaga Pendidikan itu hanya murni diukur dari jumlah siswa yang dimiliki, siswanya ikut olympiade, siswanya ikut itu ini. Sementara pesantren tidak demikian.

Kemajuan pesantren tidak semata-mata diukur dari jumlah santri yang dimiliki tetapi juga bagaimana dia mendidik santri yang ada di dalam. karena kita tahu kalau kebaikan pesantren itu hanya diukur dengan jumlah santri, maka pesantrennya Syaikh Kholil Bangkalan yang jumlah santrinya hanya puluhan itu tidak bisa dikategorikan sebagai pesantren yang bagus, karena itulah pesantren dengan sangat arif dan dengan sangat maju sekali bahwa kemajuan sebuah pesantren tidak diukur dari jumlah santri. Tetapi juga diukur dengan peran dalam pemberdayaan masyarakat misalnya,  karena itulah tidak ada gap tidak ada jurang pemisah antara pesantren dengan masyarakat yang ada di sekitarnya, apa yang ada di masyarakat itu juga diketahui oleh pesantren bahkan pesantren itu menjadi tools menjadi instrument pemberdayaan masyarakat. Itulah yang menarik, itulah yang berulang kali disampaikan oleh kiai Said atau pun oleh para kiai yang lain.

Lebih menarik lagi nama-nama pesantren yang berada di lingkungan Nahdhotul Ulama banyak lebih dikenal nama desanya bukan nama pesantrennya yang spesifik. Kediri, Krapyak, Lirboyo Situbondo dan lainnya yang dikenal adalah nama daerahnya. Itu menunjukan bahwa kemelekatan antara lembaga pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan fungsi pesantren sebagai pemberdayaan masyarakat.

Kemudian terakhir adalah dakwah, penyebaran Islam di Nusantara ini itu tidak lepas dari pesantren, dan pesantren itu akan terus kita usahakan menjadi kiblat muslim dunia. Jadi kalau kita berbicara tentang kenapa pesantren perlu menjadi kiblat dunia? Kiblat masyarakat muslim dunia? Karena pesantren mampu berhasil mengharmoniskan nilai-nila keislaman dan nilai-nilai Negara. Pesantren mampu mengharmonskan nilai-nilai yang ada dalam Islam dan nilai-nilai kebudayaan. Hal itu di beberapa Negara, beberapa tempat tidak terjadi, karena itulah di beberapa forum misalnya banyak disampaikan bawa nilai-nilai baik yang ada dipesantren itu perlu terus dikembangkan, perlu terus disuarakan.

Nilai-nilai baik yang ada dipesantren ini sayangnya kurag banyak terekspos ke luar yang menikmati hanya kalangan pesantren sendiri, sementara orang luar jarang menikmati khazanah yang ada dipesantren itu. Tantangannya itu soal konteks revolusi industri ada soal big data. Big data ini menjadi problem secara umum di komunitas pesantren. contohnya begini ada berapa banyak santri yang penghasilan orang tuanya di  bawah 1juta? Itu tidak ada datanya, belum ada datanya. Padahal dalam melaksanakan  undang-undang afirmasi pesantren itu misalnya Negara melakukan afirmasi terhadap pesantren itu memerlukan data, atau misalkan ada berapa jumlah asatidz yang perlu diintervensi yang perlu mendapatkan pelatihan khusus tentang pedagogi. Itu tidak ada datanya. lalu bagaimana mungkin melakukan afirmasi terhadapguru-guru kalau tidak ada datanya.

Tantangan berikutnya adalah internet of things (IOT) ini adalah bahwa segala sesuatu hari ini berada dalam internet, berada dalam genggaman tangan. Karena itulah kalau dalam koteks pembelajaran hari ini tentunya ini perlu disesuaikan dengan masing-masing pesantren, tetapi pesantren yang masih memungkinkan melakukan integrasi tekhnologi perlu dilakukan. Karena teknologi itu di satu sisi kalau berada di tangan orang yang tepat itu bukan suatu ancaman, tetapi itu membawa keberuntungan, membawa dampak positif. Sejauh ini pesantren masih berada di belakang dalam konteks ini.

Ada esensial skill  seperti kemampuan memecahkan masalah, kemampuan sosial, proses dan sistem adalah kemampuan yang paling akan dicari sebagai kemampuan inti dimasa mendatang. Jadi generasi mendatang bukan hanya dibekali dengan kemampuan menghafal tetapi kemampuan memecahkan masalah, kemampuan proses dan sistem, perlu dikembangkan di pesantren begitu juga dengan suber daya, sumber daya manusia pesantren perlu menjadi perhatian baik dalam aspek kompetensi maupun kesejahteraan.

Terakhir yang terkait dengan HOTS prinsipnya adalah HOTS itu bukan hanya sekedar berpikir, tetapi ada juga memecahkan masalah, merencanakan tindak lanjut kemudian aksi. Jadi HOTS ini sebenarnya bukan hanya paradigma berpikir yang hanya bisa muncul dalam ruang kelas bisa diterapkan para asatidz dan para guru. Tetapi bisa muncul dalam manajemen pesantren, muncul dalam pembelajaran.

Dalam manajemen pesantren misalkan inovasi-inovasi apa ketika ada masalah, kreativitas apa yang perlu untuk meningkatkan mutu pesantren tahun 2030. Begitu juga dengan pendidik, asatidz pesantren tidak cukup hanya mengajarkan apa dan bagaimana, tetapi juga mengapa sebagai salah satu langkah menghadirkan HOTS dalam pembelajaran.

Sumber: Diskusi Kepesantrenan P2i 25 April 2021